Berbagai peristiwa hukum tahun ini semakin membuka mata bahwa hukum di negeri ini hanya berpihak pada yang kuat. Pemenuhan rasa keadilan, dikalahkan oleh selera dengan tujuan menang dan kalah.
Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh Mahfud MD, berbagai peristiwa hukum yang terjadi tahun ini telah menunjukkan sebuah kesimpulan bahwa dunia hukum Indonesia memang karut-marut. Tahun ini, arogansi lembaga-lembaga hukum di Indonesia yang kerap memandang sebelah mata pada kaum papa mulai sedikit luruh. Proses keadilan mulai menggeliat bangkit. Ironisnya, kondisi itu baru terjadi setelah tekanan publik mulai mengemuka.

Setidaknya, publik mencatat ada dua kasus besar yang terpaksa dihentikan proses hukumnya karena kuatnya desakan masyarakat. Kasus dua Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah, yang sudah diproses dan siap dilimpahkan ke pengadilan, terpaksa dihentikan penuntutannya oleh kejaksaan. Kuatnya desakan masyarakat yang melihat kasus tersebut sarat dengan unsur rekayasa menjadi alasannya.
Demikian juga dengan kasus Prita Mulyasari, yang sebelumnya menggugat RS Omni Internasional telah memenangi gugatan perdata pencemaran nama baik dan Prita diharuskan membayar ganti kerugian 204 juta rupiah terpaksa dihentikan karena kuatnya desakan masyarakat, kepada pihak RS untuk mencabut gugatan tersebut.
Bahkan aksi pengumpulan uang recehan yang disebut gerakan “Koin Peduli Prita” sebagai solidaritas kaum yang terpinggirkan dimana hukum benar-benar telah menampar wajah hukum di Indonesia. Tak tanggung-tanggung, gerakan moral tersebut berhasil mengumpulkan dana sekitar 850 juta rupiah.
“Aksi koin Prita merupakan endapan kemuakan masyarakat pada proses hukm dan ketidakadilan,” kata pengamat sosial UI, Imam Prasodjo.
Menurut Imam, performa sistem hukum di negara ini dianggap oleh masyarakat sudah kelewat buruk dan butuh segera direformasi total. Jika para aktor penegak hukum tidak segera memperbaiki diri, menurutnya, gerakan moral ini dapat berubah menjadi aksi moral yang semakin lama semakin anarkis.
Gerakan moral, menurut Imam, menjadi sebuah terobosan baru dalam melakukan aksi perlawanan dan protes atas buruknya proses hukum. Hal yang sama, menurutnya, terjadi pada kasus Bibit-Chandra. “Lihat saja, bagaimana publik mengawal kasus Bibit-Chandra, hingga akhirnya mereka bisa bebas dan kembali menjabat sebagai salah satu pemimpin KPK,” terang dia.
Mantan Ketua PP Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif, mengatakan petinggi Kepolisian dan Kejaksaan Agung sama-sama memasang badan dalam upaya menegakkan benang basah, merekayasa bukti hukum untuk melumpuhkan KPK dengan mengorbankan Bibit dan Chandra. Namun, tanpa dikomando, rakyat yang masih berfungsi nuraninya bangkit serentak melawan kepalsuan ini.
Syafii berpesan agar suara-suara rakyat yang kritis tidak ditanggapi enteng oleh penguasa. Mulai dari media yang begitu kompak menyuarakan ketidakadilan hingga dukungan gerakan moral melalui berbagai cara.
Terhadap fenomena ini, peneliti hukum Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Wahyudi Djafar mengatakan kasus tersebut menunjukkan ada yang salah dalam proses penegakan hukum di Indonesia.
“Itu merefleksikan proses penegakan hukum yang hanya kuat terhadap masyarakat bawah, namun lemah terhadap orang kuat,” ujar Wahyudi.
Adanya kasus nenek Minah yang terpaksa di bawa ke persidangan dan dihukum percobaan, menjadi contoh atas fenomena proses penegakan hukum yang terjadi selama ini.
Adanya kontrol publik tersebut juga memperlihatkan bahwa kedulatan kembali berada di tangan rakyat.
DUKUNGAN BERARTI
Sementara itu, sebagai pihak yang mendapatkan dukungan moral dari masyarakat, Prita menilai gerakan moral tersebut berangkat dari rasa kebingungan masyarakat dalam mencari jalur untuk menyuarakan ketidakadilan. “Masyarakat Bingung bagaimana menyalurkan suaranya melihat ketidakadilan terjadi di mana-mana. Kasus saya mungkin menjadi salah satu momen untuk menyuarakannya,” kata Prita.
Awalnya, ibu dua anak ini tidak menyangka dukungan masyarakat akan datang melimpah seperti sekarang ini. “Saya tidak menyangka akan sebanyak ini dukungannya, bagi saya ini luar biasa,” tutur Prita bersyukur.
Mengenai tindak lanjut pemanfaatan hasil penggalangan koin yang menembus angka lebih dari setengah miliar rupiah, Prita berangan dapat menggunakan uang tersebut untuk dapat digunakan membantu advokasi bagi orang yang bernasib sama sepertinya. “Agar tidak ada prita-prita lain lagi ke depannya,” pungkas Prita.
Chandra Hamzah melihat ada pelajaran penting atas dukungan masyarakat dalam terhadap perlawanan kriminal Chandra-Bibit, yaitu tanpa dukungan civil-society tidak mungkin kasusnya dapat dihentikan. Untuk itu, dia akan mencoba mengimplementasikan pelajaran berharga tersebut dalam program-program KPK.
“Saya merasa suatu keajaiban dari kekisruhan yang saya alami tiba-tiba muncul suatu gerakan dari dunia maya yang bisa katakanlah mengatasi kekisruhan itu sendiri,” katanya.
Dia mengatakan dukungan dunia maya tersebut bisa menjadi cerminan bahwa gerakan serupa juga bisa di lakukan di dunia nyata dalam konteks yang lebih luas seperti pemberantasan korupsi. Untuk itu, lanjut ida, KPK akan mendorong terbentuknya grup-grup masyarakat sipil untuk melawan korupsi pada level daerah.

Hal senada diungkapkan Bibit. Menurutnya, dukungan masyarakat muncul karena ada perasaan senasib terhadap orang yang terzolimi. Menurut dia, rasa keadilan di masyarakat sudah tersentuh atas ketidakadilan yang dilakukan oleh penegak hukum.
Selain itu, dengan perjalanan waktu, lanjut dia, kasus tersebut makin terkuak dan media yang awalnya memojokkan dirinya kemudian berbalik arah mendukung.
Puncaknya ketika rekaman penyadapan KPK terhadap Anggodo Widjaja diputar oleh MK pada 3 November 2009. “Bahkan tokoh media yang sudah senior seperti Jacob Oetama dan Rosihan Anwar mengatakan baru sekali ini dalam kasus Bibit-Chandra media bersatu padu tidak ada yang berbeda pendapat,” kata Bibit. (